KONDISI EKONOMI POLITIK DI INDONESIA PADA AWAL REFORMASI TAHUN 1998


BAB I PENDAHULUAN
       A.     Latar Belakang
Gerakan Reformasi di Indonesia yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 di dorong oleh banyak faktor. Faktor pertama adalah keterpurukan ekonomi sebagai akibat terjdinya krisis moneter yang melanda kawasan Asia. Berbagai bentuk penyimpangan ekonomi yang terjadi pada masa Orde Baru membuat krisis di Indonesia menjadi sangat berat dan berkepanjangan. Hal tersebut menunjukan bahwa pembangunan ekonomi oleh pemerintah RI di bawah Orde Baru rapuh. Faktor lain adalah tersumbatnya aspirasi politik rakyat dan ketidak adilan di bidang hukum.
Kondisi ini membuat masyarakat yang di motori oleh mahasiswa berani menyuarakan pergantian pemerintah. Meski di awalnya gerakan yang menuntut diadakanya reformasi dihadapi oleh aparat keamanan dengan tindakan represif sehingga jatuh korban, namun gerakan dari hari ke hari justru semakin besar. Krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Keberhasilan gerakan reformasi membawa Indonesia memasuki era baru yang lebih demokratis dan diharapkan mampu mencapai tujuan yang diinginkan.


Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktorfaktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi. Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh ditawar- tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut.
Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.
Berdasarkan latar belakang tersebut kami membuat Judul Makalah  yaitu “KONDISI EKONOMI POLITIK DI INDONESIA PADA AWAL REFORMASI 1998”   JJJJJJJJJJJJJJJJJJJJJJJJJ

B. Rumusan Masalah
1.      Apa Faktor Munculnya Reformasi?
2.      Bagaimanakah perkembangan Politik dan Ekonomi di Indonesia dimasa Awal Reformasi?

C. Tujuan Penulisan
1. Ingin mengetahui Faktor Munculnya Reformasi
2. Ingin mengetahui perkembangan Politik dan Ekonomi di Indonesia dimasa Awal Reformasi




















BAB II
PEMBAHASAN


A.   BERAKHIRNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU
1.      Faktor Penyebab Munculnya Reformasi
Setelah Orde Baru memegang kekuasaan dan mengendalikan pemerintah, muncul satu keinginan untuk terus menerus mempertahankan kekuasaanya atau “status quo”. Hal ini menimbulkan ekses-ekses negative, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya berbagai macam penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukannya itu direkayasa untuk melindungi kepentingan penguasa, sehingga hal tersebut selalu dianggap sah dan benar, walaupun merugikan rakyat. Adapun faktor-faktor yang mendorong munculnya reormasi, yaitu :

a.      Krisis Politik
Di bidang politik pemerintah Orde Baru memiliki cara tersendiri untuk menciptakan stabilitas yang diinginkan, salah satunya dengan menjadikan Golkar sebagai mesin politik. Di dalam tubuh Golkar terdapat tiga jalur yang menjadi tumpuan kekuatanya, yaitu ABRI, birokrat dan glkar (jalur ABG). Tidak mengherankan jika Golkar selalu menjadi pemenang dalam pemilu-pemilu selama Orde Baru. Keberadaan Golkar yang sebenarnya diperlukan sebagai sarana dan arena penyalur aspirasi rakyat, ternyata dijadikan sebagai alat kekuasaan atau alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaanya.
Sistem perwakilan pun bersifat semu, bahkan hanya dijadikan sarana untuk melanggengkan sebuah kekuasan secara sepihak. Dalam setiap pemilihan Presiden melalui lembaga MPR, Soeharto selalu terpilih. Otoriterianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan politik. Banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya. Hal ini terjadi karena demokratisasi dibangun melaui KKN.
Ketidakberesan juga dapat dilihat dari konsep Dwifungsi ABRI yang telah berkembang menjadi kekaryaan. Peran kekaryaan ABRI semakin masuk dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bidang-bidang yang seharusnya masyarakat berperan lebih besar ternyata ditempati oleh personil TNI/Polri seperti jabatan lurah, bupati, walikota dan gubernur pada masa Orde Baru banyak diduduki oleh militer. Dunia bisnispunbahkan tak luput dari intervensi TNI/Polri.
Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR dan MPR. Ketidakpercayaan itulah yang mendorong munculnya gerakan reformasi. Kaum reformis yang dipelopori oleh kalangan mahasiswa yang didukung para dosen dan rektornya mengajukan tuntutan untuk mengganti presiden, reshuffle kabinet dan menggelar Sidang Istimewa MPR serta melaksanakan Pemilu secepatnya. Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total disegala bidang, termasuk keanggotaan DPR dan MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.
Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap “lima paket undang-undang politik yang dianggap sebagai sumber ketidakadilan” yaitu :
Ø   UU No. 1 tahun 1985 tentang pemilu
Ø   UU No. 2 tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR/MPR
Ø   UU No. 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
Ø   UU No. 5 tahun 1985 tentang Referendum
Ø   UU No. 8 tahun 1985 tentan Organisasi Massa
Setahun sebelum pemilihan umum tahun 1997 diselenggarakan pada bulan mei, situasi politik di Indonesia mulai memanas. Pemerintahan Orde Baru yang didukung oleh Golkar berusaha untuk memenangkan Pemilu secara mutlak seperti pemlu-pemilu sebelumnya. Sementara itu tekanan-tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru di masyarakat semakin berkembang biak dari kalangan politisi, cendekiawan dan mahasiswa. Tuntutan masyarakat terhadap perubahan kebijakan pemerintah tentang masalah politik, ekonomi dan hukum terus bergulir seperti bola salju. Keberadaan partai-partai yang ada di legislative seperti PPP, GOLKAR dan PDI dianggap tidak mampu menampung dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Kondisi dan situasi di tanah air semakin memanas setelah terjadi peristiwa kelabu pada “27 Juli 1996” yang berawal dari adanya konflik internal di tubuh PDI. Peristiwa tersebut berupa penyerangan kantor pusat PDI yang diduduki oleh kubu Megawatioleh kelompok PDI yang dipimpin oleh Suryadi. Bentrokan kedua kubu tersebut menimbulkan korban baik harta maupun jiwa.
Sepanjang tahun 1996 terjadi pertikaian sosial dan politik di dalam  kehidupan masyarakat, seperti pada bulan Oktober 1996 terjadi kerusuhan di Situbondo (Jawa Timur), bulan Desember 1996 terjadi kerusuhan di Tasikmalaya (Jawa Barat) dan di Sanggau Ledo (Kalimantan Barat) yang meluas ke Singkawang dan Pontianak. Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umumtahun 1997 telah menjadi pemicu terjadinya kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan konflik antar etnis yang berbeda. Pada bulan Maret 1997 terjadi kerusuhan di Pekalongan dan meluas ke berbagai wilayah di Indonesia. Menjelang akhir kampanye pemilihan umum 1997 meletus kerusuhan di Banjarmasin yang memakan banyak korban jiwa.
Pemilu tahun 1997 dimenangkan secara mutlak oleh Golkar, PPP berhasil menambah kursi, sementara suara PDI menurun secara drastis. Kemenangan Golkar tentu saja kembali menghantarkan Soeharto mejadi Presiden RI untuk priode 1998 – 2003. Namun dikalangan masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa berkembang satu arus yang sangat kuat menolak pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden. Akibatnya timbul tekanan terhadap kepemimpinan Soeharto yang datang dari para mahasiswa dan kalangan intelektual. Di samping itu, larangan beroposisi terhadap pemerintah telah menimbulkan penculikan-penculikan terhadap para aktivis mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

c.         Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negar-negara di kawasan Asia Tenggara sejak Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian di Indonesia. Perekonomian yang dibangun pemerintah Orde Baru ternyata rapuh dan tak mampu menahan badai krisis moneter tersebut. Di pasaran mata uang dunia nilai rupiah terus merosot terhadap dolar Amerika. Sebagai gambaran, pada tahun 1996 nilai rupiah terhadap dollar adalah Rp. 6.000 per $ US dan pada bulan Desember 1997 rupiah terpuruk hingga posisi Rp. 6.400 per $ US. Memasuki tahun 1998 kemerosotan nilai rupiah semakin drastis. Pada tanggal 13 April nilai rupiah mencapai Rp. 8.000 per $ US, pada tanggal 17 Mei rupiah mencapai Rp. 12.800 per $ US, bahkan dalam perdagangan valuta asing nilai rupiah terperosok dalam Rp. 16.000 per $ US.
Krisis moneter memicu terjadinya kemerosotan ekonomi secara meluas. Perbankan nasional terpuruk dan banyak bank beku operasi (BBO). Dunia usaha, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), tidak berkutik dan banyak gulung tikar. Pemutusan hubungan kerja (PHK) tampak terjadi di banyak tempat. Harga sembilan bahan kebutuhan pokok (Sembako) yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari melambung tinggi, bahkan sempat menjadi kelangkaan.
Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat, seperti terjadi di wilayah Irian Barat (Papua). Nsa Tenggara Timur dan termasuk di beberapa daerah di Pulau Jawa. Sementara itu, untuk mengatasi kesulitan moneter, pemerintah meminta bantuan IMF. Namun, kucuran dana dari IMF yang sangat diharapkan oleh pemerintah Indonesia belum terealisasi, walupun pada tanggal 15 Januari 1998 Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepakatan (Letter of  intent atau LOI) dengan IMF.
Sebenarnya, pada saat yang bersamaan krisis moneter terjadi pula di beberapa negara. Krisis ini merupakan imbas dari ekonomi global yang diduga di sebabkan oleh perilaku spekulan. Krisis moneter terjadi di Korea Selatan, Filipina, Thailand, malaysia dan Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia tersebut, Indonesia sangat merasakan dampak paling buruk. Hal ini disebabkan oleh rapuhnya fondasi perekonomian Indonesia.Crony capitalism, demikian istilah untuk meyebut pembangunan ekonomi Indonesia selama perjalanan Orde Baru, telah membuat struktur ekonomi menjadi rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal.
Krisis moneter dan ekonomi merebak semakin meluas dan menjadi krisis multidimensional. Di tengah situasi semakin melemahnya nilai rupiah, aksi massa, aksi buruh, dan aksi mahasiswa juga terjadi di mana-mana. Merak menuntut agar pemerintahan segera mengadakan pemulihan ekonomi, sehingga harga-harga sembako turun, tidak lagi ada PHK dan lain sebagainya.

Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi” yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah :
1.      Utang Luar Negeri Indonesia
Utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya utang negara, namun sebagian merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan negara hingga 6 Februari 1998 yang disampaikan Radius Prawira pada Sidang Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomiyang dipimpin Presiden Soeharto di Bina Graha, mencapai 63,462 milliar dollar Amerika Serikat, sedangkan utang pihak swasta mencapai 73,962 milliar dollar Amerika Serikat. Ketika krisis moneter melanda dan nilai rupiah jatuh kepercayaan luar negeri pada Indonesia menjadi tipis akibat utang luar negeri tersebut. Para pedagang luar negeri tidak percaya lagi pada importer Indonesia yang diangga tidak akan mampu lagi membayar barang dagangan yang mereka jual. Hampir semua negara tidak menerima letter of credit (L/C) dari Indonesia. Keadaan ini juga dipengaruhi oleh situasi perbankan Indonesia yang dianggap tidak sehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kasus kredit macet.

2.      Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Pemerintah Orde Baru memiliki tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi sebenarnya di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan  agraris dengan tingkat penidikan rata-rata masih rendah. Maka cukup sulit mengubah Indonesia menjadi negara industri dan rendahnya tingkat pendidikan sebagian besr masyarakat Indonesia menyebabkan mereka sulit memperoleh kesempatan kerja.
Sementara itu, pengaturan ekonomi pada masa pemerintahn Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalm pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa “dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau kepemilikan anggota-anggota masyarakat”. Sebaliknya sistem ekonomi yang berkembang pada masa Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagi bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengankorupsi dan kolusi.  





3.      Pola Pemerintahan Sentralistis
Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis yakni semua bidang kehidupan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintahan yaitu Jakarta. Oleh sebab itu pemerintah pusat sangat menentukan dalam berbagai kehidupan masyarakat. Hal tersebut juga dalam pengelolaan kekayaan daerah, dimana sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat. Demikian juga untuk bidang pers yang polanya adalah sentries, karena pemberitaan dari Jakarta (pusat) harus menjadi berita utama. Sifat emberitaa juga merupakan pemberitaan satu arah.

B.   PERKEMBANGAN POLITIK DAN EKONOMI PADA MASA REFORMASI
1.      Munculnya Gerakan Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan perikehidupan barudan secara hukum menuju kearah perbaikan. Reformasi merupakan formulasi menuju Indonesia baru dengan tatanan baru. Tatanan gerakan reformasi pada mulanya disuarakan dari kalangan kampus yaitu mahasiswa, dosen maupun rektor. Situasi politik dan ekonomi Indonesia yang demikian terpuruk mendorong kalangan kampus tidak hanya bersuara melalui mimbar bibas di kampus, namun akhirnya mendorong mahasiswa turun ke jalan. Gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa tersebut mengusung enam agenda reformasi yaitu:
a.       Adili Soeharto dan krono-kroninya
b.      Amandemen UUD 1945
c.       Penghapusan Dwifungsi ABRI
d.      Otonomi daerah yang seluas-luasnya
e.       Supremasi hukum
f.       Pemerintahan yang bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)


2.      Kronologi Reformasi
Pada tanggal 29 Mei 1997, Indonesia melaksanakan Pemilu yang dimenangkan secara mutlak oleh Golkar. Awal Maret 1998 MPR hasil Pemilu melaksanakan Sidang Umum dan memilh Soeharto kembali menjadi Presiden RI dan B.J. Habiebie sebagai Wakil Presiden. Selanjutnya Presiden Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan VII yang memiliki tugas untuk menyelesaikan PJPTI I dan mempersiapkan Indonesia untuk lepas landas menuju negara industri. Namun ternyata perekonomian Indonesia mengalami kemerosotan dan diperparah krisis moneter dan masalah sosial yang semakin menumpuk.
Memasuki bulan Mei 1998, para mahasiswa yang didukung oleh dosen diberbagai daerah mulai menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunya harga sembako, penghapusan KKN dan turunya Soeharto dari kursi kepresidenan.gerakan reformasi secara kronologi diawali dari peristiwa-peristiwa sebagai berikut:
a.       Pada 22 Januari 1998 rupiah melemah terhadap dollar Amerika Serikat. Nilai mata uang rupiah menembus angka Rp. 17.000 per dollar.
b.      Pada 12 Februari 1998 Presiden Soeharto mengangkat Wiranto menjadi Panglima ABRI.
c.       5 Maret 1998 Ketua Senat “Mahasiswa Universitas Indonesia” (MUI) ke gedung DPR/MPR untuk menyampaikan sumbangan pikiran mengenai reformasi. Perwakilan mahasiswa UI diterima oleh fraksi ABRI (TNI).
d.      10 Maret 1998 Soeharto kembali terpilih sebagi Presiden yang ketujuh kali didampingi oleh B.J. Habibie sebagai Wapres.
e.       4 Mei 1998 Harga BBM melonjak 71% yang diikuti dengan kenaikan tarif transportasi. Tiga hari kemudian terjadi kerusuhan di Medan yang menelan korban enam orang tewas.
f.       9 Mei 1998 Presiden Soeharto berangkat ke Kairo Mesir untuk menghadiri pertemuan negara-negara berkembang G-15.
g.      12 Mei 1998 di Jakarta terjadi aksi unjuk rasa oleh para mahasiswa. Di dalam aksi unju rasa di Universitas Trisakti ini dipihak mahasiswa jatuh korban 4 (empat) orang yang meninggal. Keempat mahasiswa itu adalah “Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, Hendriawan Sie dan Hafidin Royan”. Selain itu terdapat korban luka-luka yang terdiri atas puluhan mahasiswa dan rakyat yang turut dalam unjuk rasa.
h.      13 Mei 1998 kerusuhan massa terjadi di Jakarta dan Solo. Presiden Soeharto yang sedang menghadiri pertemuan negara-negara berkembang G-15 di Mesir memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Etnis thionghoa mulai eksodus meninggalkan Inonesia.
i.        14 Mei 1998 Demonstrasi ian bertambah besar dan merebak dihampir berbagai kota di Indoneisa. Para demonstran mengepung dan menduduki gedung-gedung DPRD.
j.        17 Mei 1998 di hotel Wisata, Jakarta, Nurcholish Madjid dalam jumpa pers menggulirkan ide untuk mempercepat pemilu (paling lambat tahun 2000). Menteri Sekretaris Negara pada saat itu adalah Saaidilah Mursjid tertarik dengan ide itu.
k.      18 Mei 1998 pukul 15.00 WIB Saadilah Mursjid mengundang Nurcholish madjid ke kantor Sekretaris Negara untuk menjelaskan gagasanya. Pada pukul 20.30 Nurcholish Madjid bertemu dengan Presiden Soeharto, ia mengatakan bahwa rakyat menghendaki Presiden Soeharto turun dar kursi kepresidenan. Presiden Soeharto menanggapi dengan menyatakan bersedia untuk mundur dan meminta untuk bertemu dengan beberapa tokoh dari berbagai kalangan.
l.        19 Mei 1998 Presiden Soeharto mengumumkan akan membentuk komite Reformasi, mereshuffle kabinet dan pemilu akan dipercepat.
m.    20 Mei 1998, perwakilan 27 senat mahasiswa perguruan tinggi seluruh Indonesia berdialog dengan pimpinan DPR untuk meminta kepastian kapan Presiden Soeharto mundur. Harmoko sebagai pemimpin DPR/MPR memberikan jawaban dalam waktu secepatnya, mungkin jum’at (22 Mei 1998). Kalau sampai hari itu tidak ada tanggapan, maka pimpinan majelis akan mengundang pimpinan fraksi untuk membahas kemungkinan pelaksanaan Sidang Istimewa MPR.
n.      21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan acara dilanjutkan dengan pelantikan B.J. Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto.

C.PERKEMBANGAN POLITIK SETELAH 21 MEI 1998
 1. Pengangkatan Habibie menjadi Presiden Republik Indonesia
            Setelah B.J Habibie dilantik menjadi presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 mei 1998 dan sesuai janji yang di ucapkannya, maka tugasnya adalah memimpin bangsa Indonesia dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi masyarakat yang berkembang dalam pelaksanaan refirmasi. Habibie bertekad untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.
Adapun langkah-langkah yang di lakukan oleh Habibie yaitu:
a.      Pembentukan Kabinet
Pada tanggal 22 mei 1998 Presiden ke-3 Indonesia Prof .B.J. Habibie telah membentuk cabinet baru yang di namakan Kabinet Reformasi Pembangunan. kabinet itu terdiri atas 16 menteri, yang meliputi perwakilan dari militer (ABRI), Golkar, PPP  dan PDI.
Pada tanggal 25 mei 1998 diadakan pertemuan pertama kabinet Habibie, membentuk komite untuk merancang undang-undang politek yang lebih longgar, menjadikan pemilu dalam waktu setahun dan menyetujui pembatasan masa jabatan presiden dua periode (dua kali lima tahun). Upaya tersebut mendapat sambutan positif.
b.      Upaya Perbaikan Ekonomi
Habibie menjadi presiden diwarisi krisis ekonomi yang cukup parah. Agar bangsa Indonesia dapat segera keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan Habibie berusaha melakuakn langkah-langkah untuk memperbsiki ekonomi. Langkah-langkah tersebut diantara sebagai berikut:
a.       Merekapitulasi perbankan
b.      Merekonstruksi perekomonian nasional
c.       Melikuidasi beberapa bank bermasalah
d.      Menaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga di bawah 10.000,-
e.       Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang di syaratkan IMF.
c.       Reformasi di Bidang Politik 
Kedudukan B.J Habibie sebagai Preside nada yang pro dan ada yang kontra. Hal tersebut merupakan kewajaran dalam kehidupan berpolitik di suatu Negara. Di era reformasi presiden Habibie mengupayakan politik di Indonesia dalam kondisi yang trasparan dan merencanakan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sehingga dapat di bentuk lembaga tinggi Negara yang betul-betul representative.
Dalam pemilu yang di selenggarakan presiden Habibie terntata rakyat dapat menyalurkan aspirasinya sehingga bermunculan partai-partai politik sebanyak 45 partai. Hal ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya hanya terdiri dari tiga orsospol peserta pemilu. Di bidang politik Habibie juga membebaskan narapidana politik di antaranya yaitu sri Bintang Pamungkas, manan anggota DPT yang masuk penjara karena mengkritik Presiden Soeharto, serta Muhtar Pakpahan , pimpinan buruh yang di jatuhi hukuman karena di tuduh memicu kericuhan di Medsn than 1994. Disamping itu, Habibie juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independen.

d.      Kebebasan Menyampikan Pendapat
Pada masa pemerintaha Habibie, orang bebas mengeluarkan pendapat di muka umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum ataupun unjukrasa atau domenstrasi. Namun khusus demonstrasi, setiap organisasi atau lembaga yang ingin melakukan demostrasi hendaknya mendapatkan izin dari kepolisian dan menentukan tempat untuk demostrasi tersebut. Hal ini dilakukan Karena pihak yang menyatakan bahwa “untuk kepentingan umumpejabat polri dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya dapat bertindak sesuai penilaiannya sediri.
Untuk menjamin  kepastian hokum bagi para pengunjuk rasa, pemerintah bersama DPR berhasil merampungkan perundang undangan yang mengatur tentang pengujuk rasa atau demonstrasi. Undang undang yang berkaitan dengan hal itu adalah UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Adanya undang-undang tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memuli pelaksanaan system demokrasi yang sesungguhnya, yaitu dengan memberikan kelonggara atau kebebasan kepada masyarakan untuk mengemukakan apa yang di inginkan.

e.       Refomasi di Bidang  Hukum
Pemerintahan Presiden Habibie bertekad melakukan refomasi hokum sesuai dengan aspirasi yang berkembamg di masyarakat. Salah satu tahap untuk reformasi hokum, beliau melakukan rekontruksi pembongkaran atas watak bangunan hokum Orde Baru. Pembongkaran atas aturan hokum berupa undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan meteri yang di buat swlama dasawarsa terakhir memerlukan kerja keras dan ekstra hati-hati dari pengambilan keputusan. Langkah itu di maksudkan untuk menghindari adanya sekedar pergantian kemasan hokum, tetapi isi dan substansinya sama.

f.        Masalah dwifungsi ABRI
Menanggapi munculnya gugatan terhadap peran Dwifingsi ABRI menusul lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, ABRI bergegas-gegas melakukan reorientasi dan reposisi peran sospolnya.
ABRI berkehendak mereformasi diri, yang sudah dilakukannya dengan dirumuskannya paradigma baru, termasuk keinginan menarik deri dari peran berbagai posisi sipilnya.
Namun di banyak kalangan, termasuk para mahasiswa belum merasa puas dengan paradigm baru yang di rumuskan ABRI. Mereka tetap menuntut di hapuskannya dwifungsi ABRI secara menyeluruh, termasuk perannya dalam mengambil keputusan di DPR.
Di era reformasi ABRI yang duduk dalam MPR jumlahnya sudah di kurangi yaitu dari 75 orang menjadi 38 orang. ABRI yang semula terdiri atas empat angkatan termasuk pori, mulai tanggal 5 mei 1999 polri resmi memisahkan diri dari ABRI menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI berubah menjadi TNI, yang terdiri dari angkatan laut, darat dan udara.

g.      Sidang  Istimewa MPR
Siding istimewa MPR adalah salah satu jalan untuk membuka kesempatan menyampaikan aspirasi rakyat. Dalamsidang istimewa yang di selenggarakan tanggal 10-13 November 1998 MPR di harapkan benar-benar menyuarakan aspirasi masyarakat dengan debat yang lebih segar, lebih terbuka dan bisa menampung pendapat dari berbagai lapisan masyarakat.
Pada saat itu, siding istimewa MPR menghasilkan 12 ketetapan , yaitu sebagai berikut:
1)      Enam buah ketetapan baru yang di buat:
(a)    Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi kehidupan Nasional sebagai haluab Negara (Tap. No. X/MPR/1998)
(b)   Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (Tap. No. XI/MPR/1998).
(c)    Pembatasan masa Jabatan Presiden Republi Indonesia (Tap. No. XII/MPR/1998).
(d)   Penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Tap. No. XV/MPR/1998).
(e)    Politik ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi (Tap. No. XVI/MPR/1998).
(f)    Hak Asasi Manusia (Tap. No. XVII/MPR/1998).
2)      Dua buah ketetapan yang mengubah dan menambah ketetapan yang lama:
(a)    Ketetapan tentangv Perubahan dan Tambahan atas ketetapan MPR RI No. I/MPR/1983 tentang peraturan tata tertib MPR RI sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambahkan terakhir dengan ketetapan MPR RI No. I/MPR/1998 (Tap. No. VII/MPR/1998).
(b)   Tap MPR No.XIV/MPR/1998 yang mengubah dan menambah atas Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang Pemilu.
3)      Empat buah ketetapan yang mencabut berbagai ketetapan MPR RI, yang terdahulu/lama:
(a)    Tap MPR No. III/V/MPR/1998 yang mencabut Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum.
(b)   Tap MPR No. IX/MPR/1998 yang mencabut Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN.
(c)    Tap MPR No. XII/MPR/1998 yang mencabut Tap MPR No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR RI dalam rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
(d)   Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 yang mencabut Tap MPR No. II/MPR/ 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan (Ekaprasetia Pancakarsa) dan penetapan tentang Penegaraan Pancasila sebagai Dasar Negara.

h.      Pemilihan Umum 1999
Untuk melaksanakan pemilihan umum sebagamana yang diamanatkan dalam ketetapan MPR, Presiden  Habibie menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaannya. Untuk itu maka
Di cabutlah lima paket undang-undang tentang politik. Yaitu undang-undang tentang pemilu, susunan, kedudukan dan wewenag DPR/MPR, prtai politik dan Golkar, referendum serta organisasi masa.
Sebagai gantinya, DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru. Ketiga undang-undang yang diratifikasi pada 1 Februari 1999 yang di tanda tangani Habibie itu adalah undang-undang partai politik, pemilihan umum dan susunan serta kedudukan MPR, DPR  dan DPRD.
Larangan undang-undang politik tersebut menggairahkan kehdupan politik di Indonesia. Hal itu memicu munculnya prtai-prtai politik yang jumlahnya cukup banyak. Tidak kurang dari 112 partai politik lahir. Dari sekian banyak itu, hanya 48 partai yang berhak mengikuti pemilihan umum.
Kampanye pemilu yang diikuti oleh 48 partai di gelar di seluruh wilayah Indonesia, dengan pengaturan jadwal pencetakan suara, KPU kembali melakukan pengunduran agenda. Pengunduran agenda di sebabkan oleh kondisi lapangan yang tidak memungkinkan terlaksananya pengajuan calon anggota DPR, DPRD I, DPRD II secara cepat. Factor utamanya karena kendala transportasi daerah daera terpencl di Indonesia.
Pelaksanaan pemilihan umum di perkirakan rusuh, ternyata tidak menjadi kenyataan. Selama pemungutan suara berlangsung yaitu pada 7 Juni 1999 kondisi Indonesia relatife aman. Pemungutan suara berakhir, KUP kembali melakukan pengunduran jadwal penghitungan akhir.
Setelah dilakukan penghitungan akhir oleh KPU muncullah lima partai yang memperoleh suara terbanyak yaitu:
1)      PDI perjuangan
2)      Partai Golkar
3)      PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)
4)      PPP (Partai Persatuaan Pembangunan)
5)      PAN (Partai Amanat Nasional)

Sidang Umum MPR Hasil Pemilihan Umum 1999
Setelah KPU berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR berdasarkan hasil pemilu tahun 1999, serta berhasil menetapkan jumlah wakil-wakil Utusan Golongan dan Utusan Daerah maka MPR segera melaksanakan sidang. Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan mulai tanggal 1 sampai dengan tanggal 21 Oktober 1999. Dalam sidang umum ini berhasil mengukuhkan Amien Rais sebagai ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagi ketua DPR.
Dalam Sidang Paripurna MPR XII tanggal 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban dari Presiden Habibie melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstein dan 4 suara tidak sah. Penolakan pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie tersebut menutup peluang dari Habibie untuk maju ke bursa pemilihan presiden di sidang umum MPR.
Setelah pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak, kemudian muncul tiga nama calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi di MPR, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri dan Yusril Ihza Mahendra. Namun di saat detik-detik menjelang dilaksanakan pemilihan Presiden melalui voting, Yusril Ihza Mahendra menyatakan mundur dari bursa pencalonan Presiden. Oleh karena itu tinggal dua calon presiden yang maju yaitu Megawati Soekarnoputri dan Abdurrahman Wahid. Mengingat tidak ada partai yang menang secara mutlak maka pemilihan presiden menjadi seru dan berlangsung panas.
Daari hasil pemilihan presiden melalui voting, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden dengan mendapat 373 suara, mengungguli Megawati yang meraih 313 suara. Terpilihnya Abdurrahman Wahid tidak terlepas dari maneuver politik yang digalang oleh Amien Rais melaui Poros Tengah yang terdiri dari PAN, PK, PBB dan PPP. Kenyataan pahit dari kubu Megawati ini membuat massa pendukungnya yaitu warga PDI Perjuangan kecewa, sehingga meletuslah kerusuhan yang terjadi di Solo dan Bali.














BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
·      Reformasi merupakan gerakan moral untuk menjawab ketidak puasan dan keprihatinan atas kehidupan politik, ekonomi, hukum, dan social. Reformasi bertujuan untuk menata kembali kehidupan berma-sayarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan demikian, hakikat gerakan reformasi bukan untuk menjatuhkan pemerintahan orde baru, apalagi untuk menurunkan Suharto dari kursi kepresidenan Namun, karena pemerintahan orde baru pimpinan Suharto dipandang tidak mampu mengatasi persoalan bangsa dan negara, maka Suharto diminta untuk
mengundurkan secara legawa dan ikhlas demi perbaikan kehidupan bangsa dan Negara Indonesia yang akan dating.
 Reformasi yang tidak terkontrol akan kehilangan arah, dan bahkan cenderung menyimpang dari norma-norma hukum. Dengan demikian, cita-cita reformasi yang telah banyak sekali menimbulkan korban baik jiwa maupun harta akan gagal. Untuk itu, kita sebagi pelajar Indonesia harus dan wajib penjaga kelangsungan reformasi agar berjalan sesuai dengan harapan para pahlawan reformasi yang gugur. 

·      Krisis Moneter dan utang yang semakin membebenai membuat Negara tak berdaya, sehingga membuat Presiden habibie menjadi harus melakukan banyak hal untuk mengembalikan kondisi yang sudah tak menentu.








Tidak ada komentar untuk "KONDISI EKONOMI POLITIK DI INDONESIA PADA AWAL REFORMASI TAHUN 1998"